2.1 Sejarah Hak Cipta
Konsep
hak cipta dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa Inggris (secara
harafiah artinya "hak salin"). Copyright ini diciptakan sejalan
dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses
untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya
yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan
besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta
perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.
Awalnya, hak monopoli
tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru
ketika peraturan hukum tentang copyright
mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute
of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit.
Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin
bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah
transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur
masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright,
yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik
umum.
Berne
Convention for the Protection of Artistic and Literary Works
("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau
"Konvensi Bern") pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur
masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright
diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus
mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya
dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak
eksklusif copyright terhadap karya
tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara
eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut
selesai.
2.2 Hak-Hak yang Tercakup Dalam Hak Cipta
Hak-hak
yang tercakup dalam hak cipta adalah hak eksklusif, hak ekonomi, dan hak moral.
Berikut adalah penjelasannya.
2.2.1 Hak Eksklusif
Beberapa hak eksklusif
yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
1.
Membuat salinan atau reproduksi ciptaan
dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik).
2.
Mengimpor dan mengekspor ciptaan.
3.
Menciptakan karya turunan atau derivatif
atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan).
4.
Menampilkan atau memamerkan ciptaan di
depan umum.
5.
Menjual atau mengalihkan hak eksklusif
tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan
hak eksklusif dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas
melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang
melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga
berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk
"kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalih wujudkan,
menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada
publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik
melalui sarana apapun.
Selain itu, dalam hukum
yang berlaku di Indonesia diatur pula "hak terkait", yang berkaitan
dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku
karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman
suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi
kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing
(UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi
berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang
tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan
atau perjanjian tertulis (UU Nomer 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta
dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan
lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU Nomer 19/2002 bab V).
2.2.2 Hak Ekonomi dan Hak Moral
Banyak
negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai
penggunaan Persetujuan TRIP’s WTO (yang secara inter alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan
Konvensi Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah
atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan
tersebut.
Menurut konsep Hukum
Kontinental (Prancis), hak pengarang (droit
d'aueteur, author right) terbagi menjadi hak ekonomi dan hak moral (Hutagalung,
2012). Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep hak ekonomi dan hak moral.
Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan,
sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku
(seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun,
walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan hak
moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak
cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak
moral diatur dalam pasal 24 sampai pasal 26 Undang-Undang Hak Cipta.
2.3 Perolehan dan Pelaksanaan Hak Cipta
Pada
umumnya, suatu ciptaan haruslah memenuhi standar minimum agar berhak
mendapatkan hak cipta, dan hak cipta biasanya tidak berlaku lagi setelah
periode waktu tertentu (masa berlaku ini dimungkinkan untuk diperpanjang pada
yurisdiksi tertentu).
2.3.1 Perolehan Hak Cipta
Setiap negara
menerapkan persyaratan yang berbeda untuk menentukan bagaimana dan bilamana
suatu karya berhak mendapatkan hak cipta; di Inggris misalnya, suatu ciptaan
harus mengandung faktor "keahlian, keaslian, dan usaha". Pada sistem
yang juga berlaku berdasarkan Konvensi Bern, suatu hak cipta atas suatu ciptaan
diperoleh tanpa perlu melalui pendaftaran resmi terlebih dahulu; bila gagasan
ciptaan sudah terwujud dalam bentuk tertentu, misalnya pada medium tertentu
(seperti lukisan, partitur lagu, foto, pita video,
atau surat), pemegang hak cipta sudah berhak atas hak cipta tersebut. Namun,
walaupun suatu ciptaan tidak perlu didaftarkan dulu untuk melaksanakan hak
cipta, pendaftaran ciptaan (sesuai dengan yang dimungkinkan oleh hukum yang
berlaku pada yurisdiksi bersangkutan) memiliki keuntungan, yaitu sebagai bukti
hak cipta yang sah.
Pemegang hak cipta bisa
jadi adalah orang yang memperkerjakan pencipta dan bukan pencipta itu sendiri
bila ciptaan tersebut dibuat dalam kaitannya dengan hubungan dinas. Prinsip ini
umum berlaku; misalnya dalam hukum Inggris (Copyright
Designs and Patents Act 1988) dan Indonesia (UU 19/2002 pasal 8). Dalam
undang-undang yang berlaku di Indonesia, terdapat perbedaan penerapan prinsip
tersebut antara lembaga pemerintah dan lembaga swasta.
2.3.2 Ciptaan yang Dapat Dilindungi
Ciptaan yang dilindungi
hak cipta di Indonesia dapat mencakup misalnya buku, program komputer, pamflet,
perwajahan (lay out) karya tulis yang
diterbitkan, ceramah, kuliah, pidato, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan
pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama,
drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, pantomim, seni rupa dalam segala
bentuk (seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni
patung, kolase, dan seni terapan), arsitektur, peta, seni batik (dan karya
tradisional lainnya seperti seni songket dan seni ikat), fotografi,
sinematografi, dan tidak termasuk desain industri (yang dilindungi sebagai
kekayaan intelektual tersendiri). Ciptaan hasil pengalih wujudan seperti
terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai (misalnya buku yang berisi kumpulan
karya tulis, himpunan lagu yang direkam dalam satu media, serta komposisi
berbagai karya tari pilihan), dan database dilindungi sebagai ciptaan
tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan asli (UU 19/2002 pasal 12).
2.3.3 Penanda Hak Cipta
Dalam yurisdiksi
tertentu, agar suatu ciptaan seperti buku atau film mendapatkan hak cipta pada
saat diciptakan, ciptaan tersebut harus memuat suatu "pemberitahuan hak
cipta" (copyright notice).
Pemberitahuan atau pesan tersebut terdiri atas sebuah huruf c di dalam
lingkaran (yaitu lambang hak cipta, ©), atau kata "copyright", yang
diikuti dengan tahun hak cipta dan nama pemegang hak cipta. Jika ciptaan
tersebut telah dimodifikasi (misalnya dengan terbitnya edisi baru) dan hak
ciptanya didaftarkan ulang, akan tertulis beberapa angka tahun. Bentuk pesan
lain diperbolehkan bagi jenis ciptaan tertentu. Pemberitahuan hak cipta
tersebut bertujuan untuk memberi tahu (calon) pengguna ciptaan bahwa ciptaan
tersebut berhak cipta.
Pada perkembangannya,
persyaratan tersebut kini umumnya tidak diwajibkan lagi, terutama bagi
negara-negara anggota Konvensi Bern. Dengan perkecualian pada sejumlah kecil
negara tertentu, persyaratan tersebut kini secara umum bersifat manasuka
kecuali bagi ciptaan yang diciptakan sebelum negara bersangkutan menjadi
anggota Konvensi Bern.
2.3.4 Jangka Waktu Perlindungan Hak Cipta
Hak
cipta berlaku dalam jangka waktu berbeda-beda dalam yurisdiksi yang berbeda
untuk jenis ciptaan yang berbeda. Masa berlaku tersebut juga dapat bergantung
pada apakah ciptaan tersebut diterbitkan atau tidak diterbitkan. Di Amerika
Serikat misalnya, masa berlaku hak cipta semua buku dan ciptaan lain yang
diterbitkan sebelum tahun 1923 telah kadaluwarsa. Di kebanyakan negara di
dunia, jangka waktu berlakunya hak cipta biasanya sepanjang hidup penciptanya
ditambah 50 tahun, atau sepanjang hidup penciptanya ditambah 70 tahun. Secara
umum, hak cipta tepat mulai habis masa berlakunya pada akhir tahun bersangkutan,
dan bukan pada tanggal meninggalnya pencipta.
2.3.5 Penegakan Hukum Atas Hak Cipta
Penegakan
hukum atas hak cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam hukum
perdata, namun ada pula sisi hukum pidana. Sanksi pidana secara umum dikenakan kepada
aktivitas pemalsuan yang serius, namun kini semakin lazim pada perkara-perkara
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar